Perbandingan Antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif

Perbandingan Antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif - Terlepas dari pertentangan pro dan kontra tentang pendekatan kualitatif dan kuantitatif, masing-masing pendekatan mempunyai manfaat yang sesuai dengan tofik dan masalah yang sedang diteliti.  Suatu contoh metode apakah yang relevan dengan masalah atau tofik yang digunakan untuk menghitung frekuensi distribusi atau korelasi. Maka jawabanya, pendekatan yang relevan adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Sedangkan untuk mengetahui aspek-aspek sosial tertetu pendekatan yang sering digunakan adalh pendekatan kualitatif.

Untuk memudahkan mengetahui perbandingan antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif berikut dipaparkan beberapa pendapat para ahli. Nasution (1988) membandingkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, sebagai berikut:

Perbandingan Antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif

Sementara itu, Guba dan Lincoln dalam Moleong (1989) membandingkan penelitian kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut:
Perbandingan Antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif

Fry (dalam Imron Arifin; 1996), membandingkan penelitian kuantitatif dan kualitatuif sebagai berikut:
Perbandingan Antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif

Konsep Penalitian Kuantitatif

Konsep Penalitian Kuantitatif - Metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik statistiknya diakui mendominasi anlisis penelitian sejak abad ke-18 sampai abad ini. Dengan semakin canggihnya teknologi komputer, berkembang teknik-teknik anlisis statistikyang mendukung pengembangan penelitian kuantitatif. Metodologi penelitian kuantitatif statistik menjadi lebih bergengsi daripada penelitian kualitatif. Lebih-lebih bila diperhatikan pula sejumlah kenyataan bahwa ada sementara calon ilmuan yang menggunakan metodologi kualitatif dengan alasan dan bukti ketidak mampuannya menguasai teknik-teknik analisis statistik.

Pada segi lain, karena bergengsinya metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik-teknik statistiknya banyak ilmuwan ataupun pakar ilmu yang tenggelam ke dalam teknik-teknik analisis statistik yang canggih, dan tidak tahu atau melupakan kelemahan di samping keunggulan filsafat dan teori metodologi penelitian yang melandasinya.

Metodologi penelitian kuantitatif statistik bersumber dari wawasan filsafat potivisme Comte, yang menolak metafisik dan teologik; atau setidak-tidaknya mendudukan metafisik dan metologik sebai primitif. Materialisme mekanistik-mekanistik sebagai perintis pengembangan metodologi ini mengemukakan bahwa; gambar dunia secara lebih menyakinkan didasarkan pada penelitian empirik daripada spekulasi filosofik.

Posivisme logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu kedalam logika matematika; dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam logika induktif, yaitu; ilmu itu bergerak naik dari fakta-fakta khusus fenomenal ke generalisasi teoritik.  Menurut positivisme, ilmu valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik.

Dengan pendekatan positivisme dan metodologi penelitian kuantitatif, generalisasi diskontruksi dari rerata keragaman individual atau rerata frekuensi dengan memantau kesalahan-kesalahan yang mungkin. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikan obyeknya secara eksplisit dielimenasikan dari obyek-obyek lain yang tidak diteliti. Tata fikir logik sesuai dengan teknik analisis yang telah diperkembangkan, metodologi penelitian kuantitatif membatasi sejumlah tatafikir logik tertentu, yaitu korelasi, kausalitasdan interaktif; sedangkan obyek data ditata dalam tatafikir katagorisasi, interfalisasikdan kontinuasi.

Bila diringkaskan, metodologi penelitian kuatitatif mulai dengan penetapan obyek studi yang spesifik, dieliminasikan dari totalitas atau konteks besatnya; sehingga eksplisit jelas obyek studinya. Disusun kerangka teori sesuai dengan obyek studi spesifiknya. Dari kerangka teori itu ditelorkan hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik sampling serta teknik tasisnya;juga rancangan metodologik lain, seperti; penetapan batas signifikansi, teknik-teknik penyesuain bila ada kekurangan atau kekeliruan dalam hal data, administrasi, analisis, dan semacamnya. Dengan kata lain semua dirancangkan masuk terjun kelapangan untuk meneliti.

Menurut Imran Arifin (1996) bahwa penelitian kuantitatif adalah penelitian mempunyai paradigma penelitian yang bercirikan: posivistik, hipotetik deduktif, surfase behafior dan partikulastik. Metodologi penelitian yang mempunyai landasan posivistik mempunyai ciri-ciri didalamnya: a).  menggunakan logika eksperimen dengan memanipulasi variabel yang dapat diukur secara kuantitatif agar dapat dicari hubungan diantara variabel, b). mencari  hukum universal yang dapat meliputi semua kasus, walaupun dengan pengolahan statistik dicapai tingkat probabilitas dengan mementingkan sampling untuk mencari generalisasi, c). netralitas pengamatan dengan hanya meniliti gejala-gejala yang dapat diamati secara langsung dengan mengabaikan apa yang tidak dapat diamati dan diukur dengan instrumen yang valid dan reliabel.

Dasar Teoritis Penelitian Kualitatif

Dasar Teoritis Penelitian Kualitatif

Dasar Teoritis Penelitian Kualitatif - Seorang peneliti yang mengadakan penelitian kualitatif biasanya berorientasi pada orientasi teoritis. Pada penelitian kualitatif, teori dibatasi pada pengertian; suatu peryataan sistimatis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data yang diuji kembali secara impirus. Dalam uraian tentang dasar teori   tersebut, Bogdan dan Biklen (1982) menggunakan istilah paradigma. Paradigma dalam hal ini berguna untuk mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian. Penelitian yang baik adalah menyadari dasar orientasinya memanfaatkanya dalam pengumpulan dan analisis data. Pada bagian berikut dikemukakan beberapa kemungkinan teori yang menunjang pendekatan kualitatif.

Berikut dikemukakan beberapa pendekatan yang menjadi landasan filosofis penelitian kualitatif.
  1. Pendekatan fenomenologis, penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa-peristiwa dan kaitan-kaitanya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertetu. Sosiologi fenomologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengruh lainya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Inkuiru fenomologis memulai dengan diam-diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomologis ialah aspek subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam  dunia konseptual para sobyekyang ditelitinya dengan sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh  mereka disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomolog percaya bahwa mahkluk hidup tersedia berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membetuk kenyataan.  Menurut Neong Muhadjir (1998) bahwa pendekatan phenomologik bukan hendak berfikir spekulatif, melainkan hedak mendudukan tinggi pada kemampuan manusia untuk berfikir reflek, dan lebih jauh lagi untuk menggunakan logika reflektif disamping logika induktif dan deduktif, serta logika materiil dan logika social.  Pendekatan phenomologik bukan hendak menampilkan teori dan konseptualisasi yang sekedar berisi anjuran atai imperatif, melainkan mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep.
  2. Interaksi simbolik, bersamaan dengan perspektif fenomologis, pendekatan ini berasumsi bahwa penglaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Obyek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertianya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk meraka. Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti orang-orang masa lalu, penilis, keluaarga, pemeran ditelevisidan pribadi-pribadi yang ditemuinyadalam latar tempat mereka bekerjaatau bermain, namun orang lain tidak malakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang membetuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu (misalnya mahasiswa dalam ruang kuliah tertetu) sering mengembangkan difinisi bersama (atau “perspektif bersama” dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah, dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keherusan. Di pihak lain sebagian memegang “definisi kebersamaan” untuk menunjuk pada “kebenaran”, suatu pengertian yang senantiasa dapat disepakati. Hal itu dapat oleh orang yang melihat sesuatu dari sisi yang lain. Bila bertindak atas dasardefinisi tertentu, sesuatu barangkali tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya pada orang seorang ada masalah, dan masalah itu dapat membentuk definisi baru, dapat meniadakan yang lama, dengan kata lain dapat berubah. Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang merupakan pokok persoala yang diteliti. Dalam interaksi simbolik terdapat beberapa prinsip dalam menafsirkan prilaku manusia. Penganut interaksionis berasumsi bahwa analisis lengkap prilaku manusia akan mampu menangkap makna simbul dalm interaksi. Pakar sosiologi harus juga menangkap pola prilaku dan konsep diri. Konsep itu beragam dan kompleks, verbaldan non verbal, terkatakan dan tidak terkatakan. Prinsip metodologi pertama adalah; social dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta , kita harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks seningga dapat ditangkap simbul dan maknanya. Prinsip kedua; karena sinbul dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri obyek dengan demikian menjadi penting.  Prinsip metodologi ketiga adalh; peneliti harus sekaligus mengaitkan antara social dengan jatidiri dengan lingkungan dan hubungan socialnya. Konsep jatidiri terkait dengan konsep sosiologik tentang struktur social dan lainnya.  Prinsip keempat adalah; hendaknya direkam stuasi yang menggambarkan social dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saj.  Prinsip kelima adalh; metode-metode yang digunakan hendaknya mampu mereflesikan bentuk prilaku dan prosesnya. Prinsip keenam adalah; metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di balik interaksi. Kadangkala ada interaksi yang menunjuk tentang perbedaan hasil penelitian pada daerah kasus yang sama. Perlu dipertimbangkan bahwa banyak sekali kemungkinan terjadinyaperbedaan hasil penalitian, karena memang obyek yang diobservasi berbeda , atau analisisnya berbeda, atau yang dipertanyakan berbeda. Prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sesitizing (yaitu sekedar mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionisme simbolik dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional menjadi scientific concepts. Bila prinsip ketujuh ini digunakan, nampaknya mengembangkan interaksionisme simbolik yang phenomologik akan mengarah ke pemikiran statistik kuantitatif.
  3. Pendekatan etnographi, merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak terkait dengan antropologi, yang mempelajari social, yang menyjikan pandangan hidup sobyekyang menjadi sobyek studi. Lebih jauh etnografi telah diperkembangkan menjadisalah satu model penelitian ilmu-ilmu social yang menggunakan landasan filsafat phenomologi. Studi etnografi merupakan salah satu deskripsi tentang cara berpikir, hidup, berprilaku.
  4. Pendekatan etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciotakan dan memehami kehidupannya seheri-hari. Sobyek etnometodologi bukanlah suku-suku yang terasing, melainkan orang-orang   dari berbagai macam stuasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orng mulai melihat, menerangkan dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Menurut para etnometodolog, penelitian bukanlah merupakan usaha ilmiah yang unik, tetapi lebih merupakan “penyelesaian praktis”.

Konsep Dasar Penelitian Kualitatif

Ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian  kualitatif diantaranya ialah; gronded, research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, hermeniutik, atau holistik.  Untuk mengadakan pengkajian terhadap istilah penelitian kualitatif perlu kiranya dikemukakan beberapa difinisi.  Bogdan dan  Taylor sebagaimana yang kutip Lexy J. Moleong, mendifinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data  deskriptif berupa kata –kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurutnya, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh ). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan indibvidu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Sejalan denga divinisi tersebut, Krik dan Miller ( dalam Lexy J. moleong, 3 : 1999) mendivinisikan bahwa penelitian kualitatif adalh tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasanya dalam peristilahanya. Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakanya dengan penalitian jenis lain nya. Ada sepuluh ciri paeaanaelitian kualitatif sebagai berikut:
  1. Latar alamiah, penelitian kualitatif melekukan penelitian pada latar (setting ) almiah atau pada konteks dari suatu keutuhan ( entity ). Hal ini dilakukan, karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Menurut lincoln dan Guba hal tersebut didasrkan atas beberapa asumsi : (1) tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman; (2) konteks sangat menentukan dalam menepatkan apakah suatua penemuan mempunyai arti bagi konteks lainya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan dan (3) sebagian strurtur nilai kontekstual  bersifat determinatif terhadap apa yang akan dicari.
  2. Manusia sebagai alat ( instrumen ), dalam penelitia kualitatif, peniliti sendri dengan batuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan nya lebih dahulu yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan. Oleh karena itu pada waktu mengumpulkan data dilapangan , peneliti berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan ,yang olehLexy J.Moleong (1999) disebut pengumpulan “pengamatan berperan serta “(participant-participant).
  3. Metode data secara induktif, penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data; kedua, analisi induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti responden menjadi ekplisit, dapat dikenal, dan ekontebel; ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan kepada sutu latar lainya; keempat, analisis induktif lebih dapat menmukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-nubungan;dan terakhir, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. 
  4. Metode kualitatif, penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbanga. Pertama, menyesuakan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadaadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini meyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyasuakan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
  5. Teori dari dasar (grounded theory), penelitian kualitatif lebih menghedaki arah bimbingan  penyusunan teori subtantif yang berasal dari data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, tidak ada teori a priori yang menyukupi kenyataan-keyataan ganda yang mungkin akan dihadapi; kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha umtuk sejauh mungkin menjadi netral; dan ketiga, teori dari dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai konstekstual. Dengan menggunakan analisis secara induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan. Jadi peneliti dalam hal ini menyusun atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas sementaradata dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji. Dalam hal ini peneliti tidak berasumsi bahwa sudah cukup yang diketahui untuk memahami bagian-bagian peting sebelum mengadakan penelitian.
  6. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal inidisebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan -kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto-vidiotape, dokuken pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi. Pada penulisan laporan ini , peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal ini hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah stu demi satu.
  7. Lebih meningkatkan proses dari pada hasil, penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi “proses” dari pada “hasil”. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan juah lebih jelas pabila diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen (1982;28)memberikan contoh seorang peneliti yang menelaah sikap guru terhadap jenis siswa tertentu. Peneliti mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian menjelaskan tentang sikap yang diteliti. Dengan kata laian, peranan proses dalam penelitian kualitatif besar sekali.
  8. Adanya “Batas” yang ditemukan oleh “Fokus”, penelitian kualitatif menghendaki ditetapkanya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus. Kedua penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.dengan kata lain, bagaimanapun, penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian. Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitan.
  9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, penelitian kualitatif meredifisikan validitas, realibitas dan obyektifitas dalam versi  lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan Guba (1985:43) hal ini disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan isomorfisme antara hasil  penelitian dan kenyataan tunggal dimana penelitian dapat dikonvergensikan. Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak taat pada asa dengan aksioma dasar dari generalisinya; ketiga, kreteria reliabitas gagal karena mempersyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat berubah-ubah. Keempat, kreteria obyektifitas gagal karena penelitian kualitatif justru memberi kesempatan iteraksi antara peneliti-responden dan peranan nilai.
  10. Desain yang bersifat sementara, penelitian kualitatif menyusun desain yang secaraterus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara katat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan ganda dilapangan; kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti deangan kenyataan ketiga, bermacam sistim nilai yang terkait berhubungan dengan carayang tidak dapat diramalkan.
PQ5HDXBC566J

Metodologi Penelitian (Epistimologi Kualitatif Dan Kuantitatif)

Methodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda penelitian. Dilingkungan filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencapai kebenaran. Bila ditata dalam sistematika tertentu, methodology penelitian merupakan bagian dari logika.[1] Tujuan dari metodologi penelitian itu sendiri adalah untuk mengetahui gambaran mengenai keadaan (description of exiting reality) hubungan antara satu hal dengan yang lain, khususnya hubungan sebab akibat (causality). Penilaian mengenai hubungan antara bneberapa hal (relations of variable) akan menghasilkan kesimpulan umum (generalization) atau kecenderungan umum (general tendency). Apabila mendekati kepastian akan menimbulkan penetapan suatu hukum.[2] Pada umumnya metodologi pengetahuan mengandung unsure-unsur yang berhubungan secara berkesinambungan, yang membentuk sustu sistematika ilmu, sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan bisa diterima keberadaannya. Ada tiga masalah yang membedakan satu pengetahuan dengan yang lainnya seperti perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan agama, yaitu ontology, epistimologi dan aksiologi.[3]

Epistimologi adalah cabang filsafat yang menbahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Epistimologi menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar dari epistimologi ialah: apakah pengetahuan itu, apakah yang merupakan asal mula pengetahuan, bagaimana cara membedakan antara pengetahuan dan pendapat, apakah yang merupakan bentuk pengetahuan, corak-corak pengetahuan apakah yang ada, bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan, apakah kebenaran dan kesesatan itu dan apakah kesalahan itu.[4]

Pembahasan metode penelitian lebih pada aspek epistimologi, yaitu cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Cara menyusun tubuh pengetahuan ini menurut Jujun,[5] didasarkan pada:
  1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
  2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
  3. Melakukan verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenaran dan menyatakan secara factual.
Epistimologi ilmu pengetahuan terdiri dari tiga bagian, yaitu: Observasi, deduksi dan induksi. Observasi merupakan upaya untuk melihat, mengamati dan mengevaluasi kenyataan yang ada, kemudian menetapkan asumsi, klasifikasi, abstraksi, hakikat, tipe, ideal dengan menunjukkan generalisasi. Observasi diperlukan sebagai bukti akan keberadaan suatu fenomena yang berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia. Sementara itu deduksi membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertantaan mengenai semua atau sejumlah ini diantara suatu kelompok sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang lebih dahulu diajukan. Sedangkan induksi membicarakan tentang penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan kusus. Kesimpulan hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan.[6] 



[1] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 4.
[2] Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), 14.
[3] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, sebuah pengantar popular (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 105.
[4] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), 76.
[5] Ibid., 6.
[6] Goenawan Muhammad, Methodologi Ilmu Ekonomi Islam, suatu pengantar (Yogyakarta: UII Press, 1999), 24-26.