Masa Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Masa Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Gambar hanya ilustrasi
My-Dock / Sejarah - Ayah Ki Hajar Dewantara dan sang istri sangat aktif dan menyukai pelajaran kesastraan dan musik. Pangeran Sasraningrat merupakan seorang seorang sastrawan yang kuat, keistimewaan beliau adalah dapat mengungkapkan keindahan dalam bentuk syair. Sedangkan Pangeran Surjaningrat sangat menyukai musik dan ilmu keagamaan yang bersifat filosofis dan islami. Kakak beradik keturunan Sripaku Alam III ini bersama-sama telah dapat mengubah "Sastra Gending", selain itu juga sudah banyak mewariskan karya tulis berupa buku atau serat. Karya Pangeran Surjaningrat berbentuk syair dan bersifat filosofis-religius, sesuai dengan pandangan hidupnya adalah Islam Jawa. Selain itu juga syair lepas "Panembrama" untuk perayaan Taman Siswa.
Pangeran Surjaningrat (Ayah Ki Hajar), hidup dilingkungan keluarga yang tekun berolah sastra. Selain itu suasana religius dengan adanya langgar (surau) dan masjid didepan rumah menjadi salah satu faktor kuatnya keyakinan agama. Dari lingkingan yang agamis tersebut, Ki Hajar Dewantara menerima ajaran agama Islam. Ayah Ki Hajar berpedoman pada ajaran "Syariat tanpa hakikat adalah kosong dan hakikat tanpa syariat adalah batal". Selain pelajaran agama Ki Hajar juga mendapat pelajaran berupa ajaran lama yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu yang tersirat dalam ceritra wayang. Pelajaran seni sastra, gending dan seni suara diberikan secara mendalam.

Keluarga Paku Alam termasuk keluarga yang maju. Seluruh putra-putra dalam lingkungan itu dikirim ke sekolah Belanda. Ki Hajar Dewantara bersekolah di Sekolah Dasar Belanda III, berbeda dengan saudara-saudaranya yang bersekolah di Sekolah Dasar Belanda I. Sekolah Dasar Belanda III terletak di Kampung Bintaran Yogyakarta, tidak jauh dari tempat tinggal Ki Hajar. Seperti anak sekkolah dasar pada umumnya Ki Hajar juga pernah berkelahi dengan temannya saat pulang sekolah.

Seteleh selesai sekolah dasar (1904), Ki Hajar melanjutkan sekolahnya di Sekolah Guru di Yogyakarta. Tidak lama setelah masuk di Sekolag Guru Ki Hajar mendapat tawaran bea siswa masuk Sekolah Dokter oleh dokter Wahidin Sudiro Husodo. Selama lima tahun (1905 - 1910) Ki Hajar Dewantara menjadi murid Sekolah Dokter. Ki Hajar tidak dapat merampungkan Sekolah Dokter karena tidak naik kelas dan bea siswanya dicabut. Ki Hajar tidak naik kelas karena sakit selama empat bulan. Terpakssa Ki Hajar meninggalkan sekolah tersebut karena tidak mampu untuk membiayai. Pada saat bersekolah di sekolah dokter Ki Hajar mendapat surat keterangan istimewa dari direktur sekolahnya berkaitan dengan kepandaiannya dalam berbahasa Belanda.

Walaupun tidak tamat saat bersekolah Dokter akan tetapi kihajar sudah mendapatkan banyak pengalaman baru disana. Sebagai mahasiswa Ki Hajar tinggal diasrama bersama teman-temannya dari berbagai daerah di Indonesia dan berbeda-beda agamanya. Bagi Ki Hajar tempat tinggalnya yang baru itu berbeda sekali dengan tempat asalnya. Suasana feodal yang dialami di rumah orang tuanya tidak terdapat di kota Jakarta.

Pada tahun 1908 saat masih menjadi mahasiswa kedokteran Ki Hajar berkenalan dengan Douwes Dekker dan aktif dalam organisasi Budi Utomo dan mendapat tugas sebagai propaganda. Setelah keluar dari sekolah Dokter, Ki Hajar bekerja pada laboratorium Pabrik Gula Kalibogor Banyumas dan pada tahun 1911 Ki Hajar pindah ke Yogyakarta bekerja sebagai pembantu apoteker di Rathkamp. Selain bekerja sebagai pembantu apoteker Ki Hajar mulai terjun dalam bidang jurnalistik, membantu surat kabar Sedyo Utomo di Yogyakarta, Midden Java di Bandung dan De Expres di Badung.

Karena sejak kecil Ki Hajar Dewanara telah dididik dalam suasana religius dan dilatih untuk mendalami soal-soal sastra dan kesenian, maka ketika sudah dewasa ia sangat menyukai dan mahir tentang bidang-bidang tersebut. Pada saat ia tinggal di negeri Belanda sebagai seorang buangan, Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai ahli sastra jawa. Beliau diundang oleh panitia kongres Pengajaran Kolonial I di Den Haag untuk mengikuti kangres (1916) dan diminta untuk menyampaikan prasaran. Ki Hajar selalu berpendapat bahwa pendidikan seni adalah sangat penting, karena pendidikan kesenian (Pendidikan Estetis) dimaksudkan untuk menghaluskan perasaan terhadap segala benda lahir yang bersifat indah. Pendidikan estetis ini melengkapi pendidikan etis (moral) yang bertujuan menghaluskan hidup kebatinan anak. Dengan pendidikan etis ini anak dapat mengembangkan berbagai macam jenis perasaannya : religius, sosial, individual dan lain sebagainya.

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol yang diangkat oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional berasal dari keluarga sederhana. Tuanku Imam Bonjol berasal dari daerah Minangkabau Sumatra Barat. Asal usul Tuanku Imam Bonjol tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti. Sumber yang ada berasal dari Dati Tambo, keluarga dari Tuanku Imam Bonjol dan juga keterangan dari penulis Belanda pada saat Indonesia masih dijajah Belanda.

Berikut merupakan Asal usul Tuanku Imam Bonjol yang penulis dapatkan dari Buku "Tuanku Imam Bonjol", ditulis oleh Drs. Mardjani Martamin tahun 1985. Dahulu kala (tidak disebutkan waktu yang tepat) datanglah dua orang bersaudara yakni Syekh Usman dan Hamatun dari negeri Maroko ke Minangkabau. Setelah melalui perjalanan jauh mereka menetap pada suatu negeri yang bernama Alai, Ganggo Mudik, salah satu tempat yang sekarang terletak di kecamatan Bonjol, kabupaten Pasaman. Pada waktu itu yang menjadi pemimpin kampung Alai, Ganggo Mudik adalah Datuk Sati.
Syekh Usman dan Hamatun oleh Datuk Ali diberi tempat tinggal di sebuah kampung bernama "Koto" yang sekarang bernama Padang Bulus, terletak sebelah selatan kampung Tanjung Bunga. Setelah menetap lama disana, Syekh Usman diangkat sebagai kepala kaumnya sebagai seorang penghulu atau kepala suku dengan gelar Datuk Sakih. Selain itu Syekh Usman juga disebut dengan Syekh Bagindo Suman karena mengajarkan ilmu agama Islam secara mendalam kepada masyarakat. Walaupun sudah puluhan tahun gelar beliau masih dipakai sampai sekarang di kampung Ganggo Hilir, kecamatan Bonjol sebagai gelar untuk Kadhi disana.

Saudara Syekh Usman yakni Hamatun menikah dengan seorang guru agama bernama Khatib Rajamudin atau sering disebut dengan Buya Nuddin yang bertempat tinggal di kampung Tanjung Bunga, Alahan Panjang. Khatib Rajamudin berasal dari nagari Sungai Rimbang, suatu daerah di Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh. Dari buah pernikahannya dengan Khatib Rajamudin, Hamatun dikaruniai empat anak bernama Muhammad Syawab, Sinik, Santun dan Halimatun. Muhammad Syawab atau sekarang terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, lahir pada tahun 1772

Ayahanda Tuanku Imam Bonjol, Khatib Rajamuddin adalah seorang guru agama yang sangat taat menjalankan ibadah agama Islam. Hal ini sangat berpengaruh kepada Tuanku Imam Bonjol karena didikan dari ayahanda kemudiaan hari saat menjadi pemimpin, beliau mempunyai pandangan yang sangat teguh terhadap hukum Islam. Beliau tidak mudah terpengaruh oleh suasana lingkungan masyarakat yang bertentangan dengan hukum Islam. Hal inilah yang menyebabkan bertambah besarnya simpati rakyat terhadap beliau sebagai pemimpinnya.

Masa Pendidikan Tuanku Imam Bonjol
Sejak kecil Tuanku Imam Bonjol sudah didik oleh ayahnya tentang agama Islam. Beliau mendapatkan ilmu agama Islam dari ayahnya dengan berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pada usia 7 (tujuh) tahun ayahanda Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1779. Pendidikan Tuanku Imam Bonjol tentang agama Islam kemdian diteruskan oleh neneknya yang bernama Tuanku Bandaharo yang tinggal di Kampung Padang Lawas dalam kenagarian Ganggo Hilir. Pada saat belajar agama dengan sang nenek, nama Muhammad Syawab (Tuanku Imam Bonjol) ditukar menjadi Peto Syarif  - Tidak ada keterangan secara spesifik kenapa nama beliau ditukar. Sama dengan ayahanda beliau mengajarkan Peto Syarif hukum Islam. Saat memuntut ilmu dengan sang nenek Tuanku Imam bonjol juga mempelajari ilmu tentang pandai besi, pertambangan dan ilmu beladiri. Ilmu tersebut merupakan kapandaian umum yang harus dimiliki oleh seorang pemuda Minangkabau pada waktu itu.

Karena kepandaian dan kecakapan Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Bandaharo tidak sanggup lagi memberikan pelajaran agama kepadanya karena semua pelajaran agama Islam yang diajarkan dapat diselesaikan dengan cepat. Setelah selesai menuntut ilmu dengan sang nenek Tuanku Imam Bonjol pergi meninggalkan kampungnya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi. Tujuan beliau dalam menuntut ilmu selanjutnya adalah di daerah kampung Muara di Pauh Gadis Kecamatan Suliki (kampung ayah beliau). Setelah selesai di sana kemudian Tuanku Imam Bonjol melanjutkan perjalanan mencari ilmu di Pasir Lawas di Palupuh. Setelah itu Tuanku Imam Bonjol kembali ke kampung beliau untuk mengajarkan dan mengembangkan agama Islam kepada masyarakat.

Tuanku Imam Bonjol merupakan seseorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Setelah lama mengajarkan agama Islam dikampungnya beliau merasa ilmunya masih kurang, hal ini dikarenakan Tuanku Imam Bonjol dihadapkan dengan keadaan susunan masyarakat Minangkabau waktu itu masih sangat kuat berpegang pada kebiasaan lama yang menerut Tuanku Imam Bonjol hal itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tujuan selanjutnya dalam mencari ilmu Tuanku Imam Bonjol di kampung Koto Tuo, Kenegarian Empat Angkat Candung, kebupaten agam. Disana Tuanku Imam Bonjol dan juga rekannya Datuk Bandaharo berguru kepada Tuanku Koto Tuo seorang ahli tarekat Naksyabandyah (suatu aliran tarekat yang dianggap lebih dekat dengan aliran Sunnah wal Jamaah). Pada waktu itu Tuanku Imam Bonjol berusia 20 tahun (tahun 1792), disana beliau mendapatkan banyak ilmu dari Tuanku Koto Tuo diantaranya Fiqih Islam, Al-Qur'an, Hadis Nabi dan juga masalah hukum kepercayaan aspek kehidupan sosial.

Tuanku Koto Tuo mengajarkan kepada murid-muridnya pengetahuan yang sempurna tentang Al-Qur'an. Beliau menekankan mengenai masalah keduniawian dan nilai masyarakat Minangkabau untuk memudahkan mengembangkan ajaran Islam, khususnya ditujukan untuk menanggulangi kemerosotan moral dan kebobrokan masyarakat pada waktu itu. Tuanku Koto Tuo mengajarkan kepada murid-muridnya supaya bertindak tegas dalam masyarakat, akan tetapi dalam mensyiarkan ajaran Islam sebaiknya dengan perlahan-lahan dan meyakinkan.

Tuanku Imam Bonjol menuntut ilmu dengan Tuanku Koto Tuo selama 8 (delapan) tahun. Beliau tamat belajar pada tahun 1800 dengan hasil sangat memuaskan dan mendapatkan gelar "Malin Basa". Gelar "Malin Basa"  mempunyai makna seorang Mualim "Malin"  besar "Basa". Dalam bahasa Minangkabau "Malin Basa" berarti seorang yang mengetahui secara mendalam tentang suatu masalah. Dalam hal ini "Malin Basa" merupakan seseorang yang sangat mengetahui seluk belu agama Islam serta pengalamannya.

Selesai menuntut ilmu pada Tuanku Koto Tuo (tahun 1800), Tuanku Imam Bonjol melanjutkan lagi pendidikannya ke wilayah Aceh. Disana beliau menuntut ilmu tidaklah lama sekitar 2 tahun. Pada tahun 1802 beliau kembali ke kampung halaman Alahan Panjang untuk memulai melakukan pembaharuan sesuai dengan ajaran agama yang beliau dapatkan.

Pada tahun 1803 Tuanku Imam Bonjol mengembara kewilayah Kemang untuk kembali menuntut ilmu. Disana beliau bertemu dengan seorang guru bernama Tuanku Nan Renceh. Tuanku Imam Bonjol berguru kepada Tuanku Nan Renceh untuk mendapatkan ilmu baru. Selain ilmu agama Tuanku Nan Renceh juga mengajarkan ilmu strategi perang kepada Tuanku Imam Bonjol. Beliau diajarkan bagaimana cara mengendarai kuda sambil memimpin pasukan, bagaimana taktik memimpin perang, bagaimana mencari tempat yang strategis untuk menyerang dan bertahan, bagaimana cara menguasai bawahan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan ilmu perang. 

Setelah 2 tahun Tuanku Imam Bonjol menuntut ilmu kepada Tuanku Nan Renceh, pada tahun 1805 Taunaku Imam Bonjol diperintahkan Tuanku Nan Renceh untuk mendirikan sebuah benteng Batusangkar. Pada saat pembangunan benteng tersebut Tuanku Imam Bonjol berkenalan dengan Haji Piobang. Buah dari perkenalan tersebut Tuanku Imam Bonjol mendapatkan pelatihan kemiliteran lebih lanjut. Setelah selesai mendirikan benteng  "Batusangkar", Tuanku Imam Bonjol kembali ke Kemang untuk menyelesaikan pendidikannya. Beliau mangakhiri pendidikan dengan Tuanku Nan Renceh pada tahun 1807.

Pada saat menuntut ilmu dengan Tuanku Nan Renceh, sekitar tahun 1803 Tuanku Imam Bonjol mendirikan sebuah gerakan yang tujuan utamanya untuk membersihkan praktek-praktek Islam yang tidak benar di masyarakat. Gerakan tersebut terkenal sampai sekarang dengan nama "Gerakan Paderi". Dengan munculnya gerakan tersebut, cita-cita Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan pembaharuan dalam pelaksanaan ajaran Islam menjadi berkobar-kobar. Hal ini dikarenakan Tuanku Imam Bonjol mendapatkan kekuatan baru dari Tuanku Nan Renceh dan juga pengikut-pegikutnya.

Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara dengan R.A. Sutartinah

Ki Hajar Dewantara adalah salah satu pahlawan nasional yang berjuang dalam bidang pendidikan di Indonesia (Pendidikan Nasional). Berkat perjuangannya, nama beliau terkenal baik didalam maupun di luar negeri. Ki Hajar Dewantara merupakan cucu dari Sri Paku Alam III, nama asli beliau adalah R.M. Suwardi Surjaningrat. Ki Hajar Dewantara lahir pada hari Kamis Legi tanggal 2 Mei 1889. Ayah beliau bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat (Sri Paku Alam III). Ki Hajar Dewantara (R.M. Suwardi) menikah dengan R.A. Sutartinah, beliau adalah putri dari G.P.H. Sasraningrat adik dari G.P.H. Surjaninrat. Hubungan Ki Hajar Dewantara dengan sang istri (R.A. Sutartinah) adalah sudara sepupu.

Baca Juga : Asal Usul Tuanku Imam Bonjol

Ki Hajar Dewantara dan R.A. Sutartinah mempunyai jumlah saudara yang banyak. Berikut merupakan silsilah singkat dari Ki Hajar Dewantara dan R.A. Sutartinah :

Kanjeng Gusti Hadipati Harjo Surjosasraningrat (Sri Paku Alam III) mempunyai petra sejumlah 7 (tujuh) orang,
~*K.P.H. Purwoseputro
~*B.R.M.H. Surjohudojo
~*K.P.H. Surjaningrat (Ayah Ki Hajar Dewantara)
~*B.R.M.H. Surjokusumo
~*B.R. Ayu Nototaruno
~*G.P.H. Sasraningrat (Ayah R.A. Sutartinah istri Ki Hajar Dewantara)
~*G.B.R. Ayu Hadipati Paku Alam VI

Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat (Ayah Ki Hajar Dewantara) mempunyai putra sebanyak 9 (sembilan) orang,
~*R.M. Surjopranoto
~*R.M. Surjosiworo
~*R. Ayu Suwartijah Bintang
~*R. Ayu Suwardinah Surjopratiknjo
~*R.M. Suwardi (Ki Hajar Dewantara)
~*R.M. Djoko Suwarto (K.R.T. Surjaningrat)
~*R.M. Suwarman Surjaningrat
~*R.M. Surtiman Surjodiputro
~*R.M. Harun Al-Rasid

Gusti Pangeran Harjo Sasraningrat (ayah R.A. Sutartinah) berputra 13 (tiga belas) orang,
~*R.M. Prawiraningrat
~*R.M. Nataningrat Sutjipto
~*R.M. Suprapto
~*R. Ayu Martodirjo
~*R.M. Surojo Sasraningrat
~*R.Aj. Sutarjinah (istri Ki Hajar Dewantara)
~*R.Aj. Sukapsilah
~*R.M. Sujatmo
~*R.M. Sudarto Sasraningrat
~*R.Aj. Sulastri - Sujadi Darmoseputro
~*R.M. Sancojo Sasraningrat
~*R.Aj. Sukimin Hardjodiningrat

Ki Hajar Dewantara masih berhubungan kerabat dengan sang istri R.A. Sutarjinah karena sama-sama keturunan dari Sri Paku Alam III. Kadipaten Paku Alam merupakan salah satu kerajaan dari empat kerajaan di Jawa Tengah. Berdirinya kadipaten tersebut adalah yang paling akhir dibandingkan dengan tiga kerajaan lainnya. Jika Kerajaan Yogyakarta merupakan pecahan dari kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta (pemecahan ini berdasarkan ketentuan dalam perjanjian damai Gianti : 1755). Mangkunegaraan berdiri pada 1757 berdasarkan ketentuan perdamaian Salatiga.

Ki Hajar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959, beliau wafat setelah melaksanakan tugas luhur mengabdi kepada bangsa Indonesia sejak berusia 24 tahun. Ki Hajar Dewantara merupakan perintis kemerdekaan, perintis pendidikan dan kebudayaan nasional. Karena perjuangannya tersebut beliau diangkat oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Bangsa dan Bapak Pendidikan di Indonesia.

Untuk mengenang perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dibuatlah film dokumenter yang dibuat oleh perusahaan film negara. Pembuatan film tersebut dimulai pada tahun 1959 dan diakhiri pada 29 April 1959 bertepatan dengan pemakaman jenazah Ki Hajar Dewantara.

Tambahan (saran untuk Menteri Pendidikan dan Presiden RI)
Sebagai tambahan saya sangat setuju jika pendidikan sejarah khususnya sejarah kemerdekaan Indonesia diadakan lagi mulai dari pendidikan tingkat dasar. Menurut saya itu penting agar generasi muda Indonesia mengetahui, meneladani dan meneruskan perjuangan para pahlawan yang sudah mengorbankan jiwa, raga dan hartanya demi kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga untuk memperkuat jiwa kebangsaan generasi muga Indonesia agar tidak mudah terpengaruh oleh aliran-aliran radikal yang ingin memecah belah PANCASILA dan NKRI.

Ziarah Kubur Gondoloyo

My-Dock/Sejarah - Setelah meninggalnya R. Suradiningrat Seda demung, terjadi kekosongan kepemimpinan dan putra-putranya sama menginginkan menggantikan kedudukan ayahandanya. Karena peristiwa ini akhirnya Sri Sunan Solo mengutus R.M Wiryodiningrat, untuk menata para putra-putra R. Surodiningrat, agar Ponorogo menjadi pulih tentram kembali. Akan tetapi usaha ini gagal tidak membuahkan hasil, kemudian Sri Sunan Solo mengutus P. Purbonegoro untuk melakukan musyawarah dengan para putra R. Surodiningrat Sedodemung tersebut. Selanjutnya permusyawaratan itu meng hasilkan keputusan bahwa, para putra R. Surodiningrat yang laki-laki di urut dari yang lebih tua diberi kedudukan, diantaranya :
  • R. Brotodiwirjo menjadi bupati di Madura.
  • R.T Surolojo menjadi bupati Ponorogo
  • R.T Brotonegoro menjadi bupati Polorejo
  • R. Pandji Hudan Sanjoto bupati Jakarta.
  • R. Surojudo menjadi bupati Srengat.

Selanjutnya para putri-putrinya dinikahi oleh para pejabat di Surakarta dan Yogjakarta diantaranya :
  • R.A Judonegoro istri bupati Banyumas
  • R.A Djajengrono istri bupati Caruban
  • R.A Mangkudipuro istri bupati Madiun
  • R.A Pamogan istri Sinuwun Solo
  • R.A Sinduredjo adipati Surakarta.
  • R.A.T Sumodjojo istri bupati Surakarta
  • R.A Danuredjo patih dalem Yogjakarta
  • R.A Selarong adipati di Yogjakarta.
Ketika Ponorogo dipimpin oleh R.T Surolojo mengalami kemajuan dalam semua sektor termasuk perdagangan, hubungan dengan keraton Surakarta semakin baik, hal ini dikarenakan R.T Surolojo sebelumnya pernah menjadi pejabat di Surabaya, sehingga beliau mudah membangun komunikasi.

Dalam rangka untuk kemajuan Ponorogo, R.T Surolojo sering keluar daerah, sehingga menjadikan pemerintah Belanda curiga terhadapnya, dan dianggap dapat membahayakan sehingga beliau di pindahkan ke Jakarta. Kemudian digantikan oleh saudaranya sendiri yang bernama Surodiningrat II, agar kabupaten Ponorogo tidak terjadi kekosongan pemimpin.

Waktu Adipati Surodiningrat II berkuasa terjadi perang Diponegoro, dan pemerintah Belanda sangat curiga terhadap para Bupati di Ponorogo. Apalagi di dukung dengan keberadaan P. Diponegoro yang telah menginap di daerah Ponorogo.

Mulai saat itulah kabupaten Ponorogo dijaga ketat oleh serdadu Belanda, dan menjadi masa berakhirnya kabupaten Ponorogo Kutho Wetan, atau kota lama. R. Adipati Surodiningrat meninggal tahun 1837 M, dan dimakamkan di Gondoloyo masuk Desa Plalangan Kecamatan Jenangan, dan selanjutnya anak turunnya dimakamkan disini juga.

R.T. Surodiningrat II istrinya 6 dan anaknya ada 13 yaitu :
  1. A. Istri dari Kadilangu Demak berputra :
  2. R.Ngabei Brotonegoro – wedono Ponorogo.
  3. R.M Pandji Notowidjojo – jekso Ponorogo
  4. R.A Wonoprawirodirdjo.
B. Istri dari Surakarta berputra :
  1. R.M Surodiningrat – bupati Magetan
  2. R.A Mertohadinegoro – bupati Ponorogo
  3. R.M Sosrokusumo – patih Ponorogo
  4. R.A Sumodiwirjo – wedono Pelem Mage- tan.
C. Istri ke III (R.A Ismojowati) berputra :
  • R.Panji Surolojo – bupati Ponorogo
D. Istri ke IV (R.A Dojowati) berputra :
  1. R.Panji Surobroto – Magetan.
  2. R.Panji Wirjoseputro – Ponorogo.
  3. R.Panji Wirobroto – Ponorogo.
  4. R.Panji Sumobroto – Ponorogo.
E. Istri ke VI (R.A Regu) berputra :
  • R.Panji Danukusumo – Magetan.

Ditulis oleh : Moh Cholil
Editor : Moh Najiib

Ziarah Makam Srandil dan Sejarah R.M Mertokusumo

Ziarah Makam Srandil dan Sejarah R.M Mertokusumo

My-Dock/Sejarah - Makam Srandil berada diatas perbukitan yang biasa orang sekitar menyebutnya bukit Serayu, dan makam ini menghadap kearah selatan dilingkari dengan pagar dinding (tembok.Jw.) dari batu bata dan pintu masuknya berupa gapura. Di tengah-tengah lingkaran pagar tembok itu terdapat 2 rumah gedong, dan di depannya juga terdapat cungkup (rumah gedong kecil).



Di sekitar makam bukit Srandil ini terdapat lima perbukitan, jika diurut dari barat ketimur nama nama bukit itu adalah :
  1. Bukit Lembu 
  2. Bukit Bancak
  3. Bukit Ngrayu terdapat goa disana.
  4. Bukit Serayu dan
  5. Bukit Serandil.
Daerah Srandil ini dahulu kala merupakan tanah perdikan (tanah yang tidak dikenai pajak), kemudian mulai tahun 1964 semua tanah perdikan di cabut oleh pemerintah RI dan statusnya menjadi tanah umum yang terkena pajak.

Yang di makamkan di bukit Srandil ini adalah bupati Sumoroto beserta anak cucunya, dan bentuk makam berupa rumah gedong yang jumlahnya ada 2 gedong, adapun yang dimakamkan digedong sebelah barat, berurutan dari arah barat adalah :
  1. R.M Riyo Surjo Hadikusumo-wafat 10-10-1935.
  2. R.M Brotodiningrat-wafat 16-3-1927
  3. R.A.T Sumonegoro
  4. ......... (tidak ada namanya)
  5. R.M Mertokusumo turun Batoro Katongan.

R.M Mertokusumo inilah yang pertama kalinya dimakamkan di bukit Srandil ini, beliau putra dari R.T Mertowongso II Bupati Ponorogo Kutha Wetan, dan beliau juga yang babad dhukuh Babadan yang terletak disebelah utara bukit Srandil dimana didhukuh ini dulu beliau madeg pandita. Diluar gedong ini disebelah baratnya ada cungkup merupakan makamnya R.M Tondhowinoto sekaliyan garwo yang wafat tanggal 17-7-1939.

Kemudian pada gedong yang kedua di sebelah timurnya gedong pertama dimakamkan : R.M Brotodirdjo sekaliyan. Di depan gedong sebelah timur di pelataran adalah makam R. Surodiwirjo (bekel juru kunci Srandil) Lurah Srandil pertama. Dan di depan gedong timur dekat dengan pagar tembok makamnya R.M Harijogi bupati Ponorogo putra R.M Tondowinoto. Pada sisi kiri pintu gapuro di dalam plataran adalah makamnya R. Imamredjo sekaliyan (Lurah Srandil).

Gapura Makam Srandil
Gapura Makam Srandil
R.M Rijo Surjo Hadikusumo adalah putra dari R.T Sumonegoro, nama kecil dari R.M Rijo Surjo Hadikusumo adalah R.M Imam Suwongso, ketika masih muda menjabat mantri polisi di Magetan, dan kemudian menjabat Wedono di Uteran Madiun.

Ketika di Magetan terjadi perampokan yang dilakukan oleh Yahuda yang sangat sakti mandraguna karena diembani Jin, Residen Madiun minta bantuan kepada R.M Rijo Surjo Hadikusumo wedono Uteran untuk menangkap Yahuda. Permintaan Residen Madiun itu disanggupi dan R.M Rijo Surjo Hadikusumo terus bekerja, dengan bekal kesaktiannya yang pilih tanding, kesaktian Yahuda ternyata tidak sebanding dengan kesaktian yang dimiliki oleh R.M Rijo Surjo Hadikusumo Yahuda mati ditangannya. Dengan keberhasilannya inilah akhirnya beliau diangkat menjadi Patih di Pacitan.

R.M Tondowinoto.adalah putra R.M.T Brotodirdjo bupati Sumoroto ke III, ketika biliau menjadi camat di Kambeng, disana terjadi perampokan dengan sebutan Rampok Senepo yang dipimpin oleh Eko dengan aji andalannya kidang kencono.

Ketika R.M Tondowinoto hendak menangkap Eko dibantu oleh 7 lurah (kepala desa), rupanya rencana penangkapan ini dapat diketahui oleh si Eko, karena itu dia juga menyiapkan kawanan begal dan rampok, akan tetapi Eko untuk menghadapi R.M Tondowinoto dan 7 lurah tersebut tidak ingin melibatkan kawan-kawannya. Hanya saja apabila nanti dirinya betul-betul tertangkap terserahlah pada kawan-kawannya itu untuk mengambil sikap. 

Akhirnya Eko dapat ditangkap oleh R.M. Tondo winoto bersama 2 orang lurah yang membantunya namun naasnya ketika Eko sudah dirantei dan akan dibawa ke kantor Kecamatan, 20 orang kawanan Eko tiba-tiba menyerang dan mengeroyok R.M Tondowinoto, bagaimanapun kesaktian R.M Tondowinoto tidak mampu menghadapi 20 orang kawanan rampog.

R.M Tondowinoto akhirnya jatuh dan tidak berdaya lagi kemudian diceburkan ke sungai, sekalipun demikian keadaannya 2 orang Lurah yang membawa Eko selamat sampai di kantor Kecamatan Kambeng. Sekalipun sudah diceburkan ke sungai R.M Tondowinoto masih selamat dan dapat pulang kerumahnya, dan Eko diputus oleh pengadilan mendapat hukuman dibuang ke daerah Sawahlunto Sumatra. Kemudian R.M Tondowinoto diangkat menjadi Wedono Ardjowinangun-Tamansari merangkap Lid Landraad.

R.M Tondowinoto dibuang ke Ngawi (diselong), karena membela R.M Brotodirdjo yang sedang ada masalah dengan Residen Madiun, tentang urusan pengairan sawah yang tidak menguntungkan para petani, selanjutnya R.M Tondowinoto di pindah kan ke Pacitan menjadi mantri Gudang Garam. Karena R.M Tondowinoto dalam menjalankan tugasnya sebagai mantri Gudang Garam selalu membela dan menguntungkan rakyat, akhirnya dipensiun dan mendiami rumahnya sendiri lagi hingga beliau meninggal dunia tanggal 17-Juli-1939 M dan di makamkan di pemakaman Srandil.

*Foto oleh : Nanag Diyanto
Ditulis oleh : Moh Cholil
Editor : Moh Najiib

Perang Brotonegoro melawan Kompeni Belanda

Makam R.T Brotonegoro
Makam R.T Brotonegoro dipuncak Gn. Larangan
My-Dock/Sejarah - Pada tahun 1825 M ketika terjadi perang Diponegoro melawan Belanda, P. Diponegoro beserta bala tentaranya memasuki wilayah Ponorogo dari wilayah kabupaten Pacitan, dan istirahat di kabupaten Polorejo yang ketika itu bupatinya tumenggung Brotonegoro. Setelah bala tentara P. Diponegoro istirahat sehari semalam di Polorejo, mereka lalu berangkat lagi kearah barat menuju Jawa Tengah melalui Sumoroto dan Badegan kemudian kembali ke Yogjakarta.

Setelah Polorejo ditinggalkan bala tentara P. Diponegoro, Belanda memasuki wilayah kabupaten Polorejo dengan persenjataan lengkap dan menyerbu, akan tetapi ketika itu Brotonegoro sudah siap untuk menghadapi pasukan Belanda karena memang sudah antisipasi sebelumnya, mesti nanti sepeninggalnya tentara P. Diponegoro dari Polorejo Belanda pasti menyerbu Kabupaten Polorejo. Dan betullah antisipasi Brotonegoro tersebut, karena itu sebelum di serbu oleh Belanda, Brotonego sudah menyiapkan para prajurit dengan persenjataan lengkap dan persiapan mental dan phisik yang mantap menghadapi serangan Belanda.

Sebelum kompeni Belanda tiba di wilayah wewengkon Kabupaten Polorejo, tumenggung Broto negoro sudah mendapatkan informasi tentang dari arah mana bala tentara Belanda akan menyerang Polorejo. Informasi dari teliksandi (inteljen) tumenggung Brotonegoro itu menerangkan, bahwa Belanda akan memasuki dan menyerang dari arah Utara Barat yaitu daerah Magetan, oleh karena itu tumenggung Brotonegoro membuat calon (bakal) pesanggrahan di sebelah barat daya kabupaten Polorejo + 2,5 Km, pesanggrahan itu terbuat dari bambu yang di bentuk menara yang tinggi digunakan untuk mengintai kedatangan musuh. Kemudian tempat untuk membuat calon (bakal-Jw.) pesanggrahan itu di abadikan sebagai sebuah dukuh yaitu Bakalan yang masuk wewengkon Polorejo.

Adapun pesanggrahan yang dibuat oleh para pra jurit Brotonegoro itu letaknya lurus di utara masjid Bakalan +/-500 m. Tidaklah sia-sia persiapan Brotonegoro untuk  membuat  pesanggrahan itu, dan betul-betul bermanfaat untuk mengintai kedatangan Belanda, karena ketinggian menara pesang grahan itu 2x setinggi pohon bambu (rong uder- Jw.) dan sekaligus sebagai pusat komando.

Area Makam R.T Brotonegoro di Gunung Larangan
Perang Brotonegoro melawan Belanda sudah tidak dapat dihindari lagi dan betul-betul terjadi pada tahun 1825 M. Medan pertempuran berada di sebelah barat daya pesanggrahan, ketika tumenggung Brotonegoro menjemput kedatangan Belanda diikuti oleh banyak prajurit, dan sebagai tanda jika Belanda sudah datang seorang prajurit di perintah memukul gong yang disebut kyai Demung sekaligus sebagai aba-aba perang. Disaat Belanda datang prajurit pemukul gong demung memukul gong itu terus-menerus hingga kuda yang di tunggangi Brotonegoro lari melesat secepat kilat ndigar-ndigar menjemput musuh, dan tumenggung tampak gagah berani sebagai komandan perang.

Peperangan berlangsung hingga waktu sore hari menjelang malam, hingga sangat sulit untuk melihat lawan dan kawan dan Belandapun mundur, prajurit Brotonegoro banyak yang menyebar kocar kacir di berbagai penjuru arah. Namun tumeng gung sudah kembali lagi ke pesanggrahan diikuti oleh sebagian prajurit, waktu sudah betul-betul malam banyak prajurit kebingungan untuk kembali ke pesanggrahan, karena memang medan peperangan saat itu masih berupa hutan belantara. Di saat prajurit itu kebingungan mencari pesanggra han, tiba-tiba saat itu ada seorang prajurit yang melihat lampu yang kerlip-kerlip (kelip-kelip.Jw) tidak jauh dari tempat prajurit itu berdiri yaitu di arah sebelah barat lurus, kemudian mereka sama mengatakan yang kelip-kelip diatas itu pasti lampu pesanggrahannya ndoro Brotonegoro, dan ternyata betul. Setelah mereka berjalan menuju ke arah lampu tersebut ketemu dengan prajurit-prajurit lainnya dan mereka dapat berkumpul kembali.

Kemudian tempat prajurit memukul Gong Demung tadi dinamakan dukuh Demung masuk Ds.Sukosari. Tempat ndigar-ndigar kudanya Brotonegoro dinamakan persawahan Tegari, karena sekarang tempat ini berupa tanah persawahan masuk Desa Polorejo. Tempat prajurit mengatakan kelip-kelipnya lampu pesanggrahan itu dinamakan Sekelip masuk wilayah Polorejo. Bekas (petilasan) pesang grahan Brotonegoro dinamakan sawah Tilasan, karena sekarang berupa tanah persawahan, yang dahulu kala ada gerumbulnya dinamakan gerumbul Tilasan dan gerumbul itu di tebang sekitar tahun 1998 M.


Jatuhnya Kota Madiun ke Tangan Belanda.
Pada tanggal 15 Nopember 1825 pertahanan kabu paten Madiun yang setia kepada P. Diponegoro dipusatkan diselatan kota Ngawi, namun para pasukan yang berada dalam pertahanan ini mendapat gempuran yang hebat dari serdadu Belanda. Dari sebelah utara di gempur oleh Belanda yang dipimpin oleh Theunissen, dari barat di serang Belanda yang dipimpin oleh Letnan Vlikken Sohild dengan ratusan prajurit Jogorogo Surakarta pro Belanda. Akhirnya pasukan Madiun yang setia kepada P. Diponegoro menjadi kocar-kacir dan Ngawi jatuh ketangan Belanda.

Pada waktu itu pertahanan P. Diponegoro di Madiun sektor Selatan di tempatkan di daerah Kabupaten Pacitan dengan panglima daerah dibawah pimpinan Bupati Mas Tumenggung Djojokaridjo, Mas Tumenggung Djimat dan Ahmad Taris, namun karena kuatnya serdadu Belanda pada akhir Agustus 1825 M, Pacitan dapat dikuasai oleh ser dadu Belanda.

Makam Kuda R.T Brotonegoro
Dengan berhasilnya Belanda melumpuhkan pasukan P. Diponegoro di Madiun, pertahanan sektor Selatan dan sektor Utara (Ngawi), maka wilayah Madiun secara keseluruhan sudah jatuh ketangan Belanda dan Brotonegoro bupati Polorejo yang menjadi benteng pertahanan kota Ponorogo utarapun di obrak-abrik oleh Belanda. 

Brotonegoro seorang bupati yang gagah berani itu tetap menghadang serdadu Belanda yang datang dari arah kota Madiun dan Goranggareng Magetan. Karena pasukan dan persenjataan yang tidak seimbang, maka pasukan Brotonegoro banyak yang tewas, dan pertempuran menjadi tidak seimbang karena semakin sedikitnya pasukan Brotonegoro maka pekathiknya dengan sigap meloncat naik ke punggung kudanya Brotonegoro dan menarik ken dali kudanya dan mencambuk-cambuknya hingga kudanya lari melesat cepat menuju arah Barat laut.

Melihat Brotonegoro keluar dari medan pertempuran dan memacu kudanya sangat cepat, Belanda pun mengejarnya hingga Brotonegoro naik kepun cak Gunung Gombak (Nglarangan) Kauman Sumoroto. Gunung kecil itu diatasnya tidak berpenduduk hingga Belanda sangat mudah untuk mengepung perbukitan tersebut. Pada waktu itu tidak boleh seorangpun penduduk pribumi yang naik ke atas bukit, hingga waktu yang sangat lama, sehingga karena tidak ada makanan dan minuman setelah bertahan sekian bulan lamanya, akhirnya sang Bupati Brotonegoro menemui ajalnya.

Kemudian Gunung Gombak tersebut dinamakan Gunung Larangan, karena adanya larangan dari Belanda selama Brotonegoro berada diatas bukit, tidak boleh ada orang pribumi yang naik keatasnya. Akhirnya jenazah Brotonegoro oleh Belanda dikuburkan diatas Gunung itu, dengan pemakaman secara Islam, bersama kudanya Tejosumekar dan pekathiknya. 

Setelah Brotonegoro wafat dalam medan perang dengan cara yang sangat tidak manusiawi oleh perlakuan Belanda, maka yang menggantikan kedudukan Bupati Polorejo adalah Brotowirjo sekitar tahun 1825 s/d 1829 M, dia adalah adik kandung Brotonegoro, dan menjadi bupati Polorejo tidak lama hanya dalam kurun 3 tahun sudah meninggal dunia, kemudian digantikan oleh putra menantunya yang bernama Mertomenggolo tahun 1829 – 1834 M. Selanjutnya di gantikan oleh R.T Wirjo negoro putra R.T Brotowirjo tahun 1834 – 1837. Di tahun inilah R.T Wirjonegoro meninggal dunia dan dimakamkan dimakam keluarga R. Betoro Katong Setono Jenangan Ponorogo. Dengan demikian Kabupaten Polorejo sudah runtuh dan di hanguskan oleh pemerintahan Belanda bersama dengan kabupaten Kutha Wetan (Kota Lama). *)

*) Sumber cerita ini diperoleh dari Mbah Selan, sesepuh lingkungan dukuh Ndalem Polorejo, beliau pernah menjadi Dan Co Jepang tahun 1943 – 1945.

Penulis : Moh. Cholil
Editor : Moh. Najiib

Sejarah Kabupaten Polorejo dan R.T Brotonegoro

Makam R.T Brotonegoro

My-Dock Sejarah - Pada tahun 1765 Polorejo resmi menjadi kota Kabupaten, dengan bupatinya yang pertama ialah putra Surodiningrat I bupati Ponorogo yaitu Raden Tumenggung Brotonegoro. Pusat pemerintahan kabupaten terletak di Dukuh Dalem Ds. Polorejo, sekarang Jl. Srigading. Sekitar tahun 1824 M ada utusan seorang senopati keraton Solo mengadakan kunjungan ke Katemenggungan Polorejo, karena memang saat itu kabupaten Polorejo di bawah kekuasaan keraton Solo.

Ketika selama kunjungan di Polorejo senopati itu tertarik akan kecantikan putrinya tumenggung Brotonegoro yang sedang menjanda kembang. Akan tetapi sang tumenggung sangat keberatan jika anaknya dijadikan selir oleh sang senopati, yang menurut cerita sudah banyak selir itu. Karena usahanya tidak berhasil, senopati itu mendekati Tumenggung Sumoroto yang kebetulan ada ketidak cocokan dengan tumenggung Brotonegoro.  Maka diaturlah siasat memfitnah sang tumenggung ke Raja Solo, dia membuat laporan bahwa, tumenggung Brotonegoro mbalelo. Mendapat laporan ini, raja Solo nimbali (memanggil) Brotonegoro untuk menghadap sang raja.

Selanjutnya secara diam-diam raja Solo mengirimkan telik sandi (intel) pribadi agar menyelidiki ketemenggungan Polorejo. Hasil investigasi dari pada telik sandi itu adalah bahwa, tidak diperoleh bukti–bukti yang kuat yang menunjukkan adanya tumenggung Polorejo Brotonegoro akan mbalelo ( memberontak ) ke Solo. Telik sandi itu tidak mendapati adanya pelatihan-pelatihan perang yang dilakukan oleh para prajurit katemenggungan, yang didapati hanyalah latihan pencak silat biasa saja, dan ketika ditanyakan kepada penduduk desa, mereka rata-rata men jawab tidak ada apa-apa, lagi pula situasi lingkungan katemenggungan tampak aman tidak ada tanda-tanda yang membahayakan keamanan, dan persiapan pemberontakan.

Kemudian raja Solo mengirim lagi utusan untuk memanggil Brotonegoro agar menghadap Raja, seraya utusan itu mengatakan bahwa Raja tidak akan menghukumnya dengan jaminan dirinya sendiri. Artinya jika sampai di Solo Brotonegoro jadi dihukum, maka hidup dan matinya utusan itu diserahkan kepada Brotonegoro.

Ketika Tumenggung Brotonegoro memenuhi panggilan rajanya berangkat dari Polorejo bersama-sama para prajurit dan utusan menuju Solo, dalam perjalanan tidak mendapati gangguan apapun dan selamat sampai di keraton. Kemudian Tumeng gung bersama utusan memasuki keraton menghadap Raja, sesampainya di hadapan raja tidak ada tutur kata yang mengancam keselamatannya dari rajanya, bahkan hanya membicarakan tentang keadaan keamanan katemenggungan, dan kesejahteraan penduduk Kabupaten  Polorejo  dan tidak ada yang lain. Menjadi legalah hati sang tumeng gung setelah sekian waktu dihadapan raja diterima dengan baik dan tidak ada tanda-tanda untuk di rangket (di tangkap) untuk di penjarakan.

Setelah selesai pisowanan (menghadap) raja, Brotonegoro pulang kembali ke Kabupaten Polorejo dengan selamat, dan sesampainya di dalem Kabupaten terus istirahat untuk melepas lelah dan bersyukur kepada Tuhan bahwa dirinya terlepas dari  fitnah  yang mengancamnya dengan hukuman penjara.

Penulis : Moh. Cholil
Editor : Moh Najiib

Lawakan Gus Dur tentang Letkol Prabowo Dan Preman Cengkareng

Lawakan Gus Dur tentang Letkol Prabowo Dan Preman Cengkareng

My-Dock - Perkenalan Gus Dur dengan Prabowo Subianto terjalin lewat penyampaian pesan dari mantan Presiden Soeharto kepada sang Ketua Umum PBNU. Waktu itu Prabowo berpangkat Letnan Kolonel dan menyampaikan pesan dari mertuanya (Soeharto) supaya Gus Dur membatalkan rencananya menggelar “Rapat Akbar dua juta umat” pada tahun 1992 M di Parkir Timur Senayan Jakarta.

Gus Dur jengkel dengan tekanan-tekanan yang sering datang dari Soeharto terhadap dirinya, lalu beliau menulis surat panjang kepada Soeharto, sambil mengutip pengalaman negara Aljazair dan Tunisia tentang bangkitnya “Islam Militan” kepada Prabowo, beliau bilang bahwa jika acara itu tidak di idzinkan, aku tidak mau lagi ikut-ikutan ngurus negara.

Acara itu akhirnya tetap berlangsung, tetapi dengan jumlah hadirin yang jauh lebih kecil. Waktu itu Gus Dur ditanya wartawan tentang jadi atau tidaknya acara itu digelar. Jawabnya “Ya tetap jadi, Lurahe wahe wis oleh kok”. Maksudnya “Lurahe” (Presiden Soeharto) sudah memberi idzin. Terdengar kabar, banyak delegasi warga NU dari luar kota yang dicegat di pintu-pintu masuk Jakarta, supaya tidak memadati Parkir Timur Senayan Jakarta, untuk menghindari hal yang tak diinginkan penguasa, atau setidaknya supaya Gus Dur tidak terlihat gamblang punya du kungan massa yang besar di negeri ini.

Sejak itu Gus Dur dan Prabowo rupanya sering kali bertemu, baik dalam suasana yang akrab maupun kurang intim. Menurut Gus Dur kepada seorang kawannya, pada hari-hari setelah kerusuhan Mei, Prabowo sempat datang kerumah Gus Dus di Ciganjur pada pukul dua pagi dengan dikawal dua panser. Pada saat kerusuhan Mei itu terjadi pelanggaran ham yang cukup berat, yaitu adanya penculikan beberapa aktivis mahasiswa, dan dalang dari semua penculikan itu dialamatkan kepada Prabowo Subianto, namun setelah TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) menemukan fakta keterlibatan Prabowo, maka dia dipecat sebagai Komandan Kopasus anti teror. Setelah itu kemudian Prabowo mengasingkan diri ke “Yordania” sejak kariernya di Angkatan Darat berakhir. Konon selama dipengasingan itu, Prabowo juga beberapa kali bertemu Gus Dur atau setidak-tidaknya melakukan kontak komunikasi.

Nah,………..dalam suatu kontak itu, kata Gus Dur, Prabowo minta saran kepada beliau “Apakah tepat apabila dia pulang ke Indonesia saat ini ?”, (Waktu itu masih masa pemerintahan BJ Habibie). Jawaban Gus Dur unik :
“Saya bilang pada Prabowo, dia sebaiknya jangan pulang sekarang, sebab jika pulang sekarang, baru sampai Airport bisa-bisa dihabisin sama preman Cengkareng”, akhirnya Prabowopun membatalkan kepulangannya.

Tidak jelas siapa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan preman Cengkareng. Kalau preman betulan, apalagi yang menguasai daerah bandara itu, rasanya bukan, sebab tidak pernah terdengar bahwa mereka begitu hebat dan kuat. Jadi tidak mungkinkah yang beliau maksud sebenarnya adalah lawan-lawan Prabowo sendiri yang masih berkuasa di tubuh TNI ?, tanya saja pada Gus Dur sendiri.

Mengenal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Mengenal KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

My-Dock - Pada waktu masih kanak-kanak, Gus Dur pernah di asuh oleh seorang santri dari Ponorogo yang bernama Kang Mungin dari Munggu Bungkal Ponorogo. Di pagi hari biasa para santri momong anak lelaki putra gurunya, yang bernama Abdurrahman Wahid, dia sedang belajar berjalan, jangkahnya tertatih-tatih, sebentar-sebentar ia terjatuh. Setiap kali ia jatuh oleh kang Mungin ditolongnya dengan dibangunkan dan dibersihkan badan dan kakinya dari debu yang menempel.

Tetapi ketika abahnya KH. A. Wahid Hasyim ayah Gus Dur melihat peristiwa itu, beliau segera melarang para santri melakukan hal itu, sebari berkata “Jangan di tolong !, biarkan dia berdiri sendiri, agar nanti bisa cepat mandiri”. Para santripun berdiam diri, mereka hanya bisa mengamati gus-nya sedang belajar berjalan, tanpa bisa memberikan pertolongan.

Pada tahun 2000 M, ketika itu Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI, beliau pernah juga datang berkunjung ke rumah mbah KH. Mungin yang berada di Munggu Bungkal Ponorogo, untuk bersilaturrahim kepada pengasuhnya di waktu kecil. 

KH. Abdurrahman Wahid lahir pada hari : Ahad Pahing, tanggal : 1 Rajab 1359 H bertepatan dengan tanggal : 04  Agustus 1940 M, di Denanyar Jombang. Ayah beliau bernama : KH. A. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim ‘Asy’ari (Tebuireng). Sedangkan ibunya bernama : Ny. Hj. Sholihah binti KH. Bisri Syansuri (Denanyar).

Gus Dur menamatkan pendidikan dasar (SD) di Ja-karta tahun 1953 M,  karena pada saat itu beliau mengikuti abahnya KH. Wahid Hasyim yang lagi tugas di Jakarta menjabat sebagai Menteri Agama dalam kabinet Hatta ( 20 Desember 1949 – 6 September 1950 ), kemudian pada kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 ) dan terakhir kabinet Sukiman ( 27 April 1951 – 3 April 1952 ) dan beliau sebagai perintis dan pelopor berdirinya perguru an tinggi IAIN ( Institut Agama Islam Negeri ) di seluruh Indonesia.

KH. Wahid Hasyim meninggal dunia pada hari : Ahad Pon tanggal : 5 Sya’ban 1372 H / 19 April 1953 M, akibat kecelakaan mobil yang dinaikinya di daerah Cimindi sebuah kota antara Cimahi dan Bandung dalam usia 39 tahun, dan dimakamkan di dekat makam Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di lingkungan PP. Tebuireng Jombang, ketika itu Gus Dur baru menamatkan sekolah di tingkat dasarnya.

Setelah tamat SD di Jakarta Gus Dur melanjutkan belajarnya di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Perta- ma) Gowangan Yogjakarta sekaligus nyantri di Pondok Pe santren Krapyak (1956). Setelah tamat dari SMEP, beliau melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang, selama 3 tahun kemudian ke Pesantren Tambakberas Jombang, mengajar di Madrasah Muallimat Tambakberas sejak tahun 1959.

Pada tahun 1960 melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar Cairo Mesir, lalu pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad Iraq, tetapi keduanya tidak sampai tamat. Sampai awal tahun 1970 masih aktif dalam setiap kegiatan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Timur Tengah. Pulang dari Iraq mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang, sekaligus menjadi Dekannya (1972-1974), lalu menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng (1974-1979), pada tahun 1979 masuk kejajaran NU sebagi wakil Katib Aam PBNU. Kemudian pada Muktamar ke 27 di Situbondo Jawa Timur beliau terpilih sebagai Ketua Umum PB- NU bersama KH. Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam-nya.

Dalam Muktamar NU ke 28 di PP. Krapyak Yogjakarta 1989 M, beliau dipilih kembali sebagi Ketua Umum PBNU yang kedua kalinya, dan pada Muktamar ke 29 di Cipasung 1994 M, masih dipercaya lagi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Kemudian  dalam Muktamar NU ke 30 di PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur ( 1999 ) Gus Dur yang saat itu menjadi Presiden RI diangkat menjadi salah seorang Mustasyar PBNU.

Karier Politik Gus Dur
Pada masa awal meniti kariernya Gus Dur dikenal sebagai seorang kolumnis yang produktif, tulisannya banyak menghiasi halaman media masa nasional, terutama untuk majalah Tempo dan harian Kompas. Pernah menjadi Ketua Dewan Pelaksana Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Juri Festifal Film Indonesia (FFI) dan juga pernah menjadi anggota MPR wakil dari DKI Jakarta.

Gus Dur memang sosok yang kontroversial, selain pernah mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari Philipina, ia juga mendapatkan penghargaan dari Yayasan Simon Perez Israel, disamping juga terpilih sebagai salah seorang presiden WCRP (World Coorporation Relegian President) persatuan umat ber-agama sedunia.

Semasa menjabat Ketua Umum PBNU yang ketiga kalinya (1998 M), PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur duduk sebagai Ketua Dewan Syuro partai tersebut. Nama PKB akhirnya lebih identik dengan Gus Dur daripada Ketua Umumnya, baik itu Matori Abdul Jalil maupun Dr. Alwi Sihab.

Dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 M Gus Dur diangkat sebagai Presiden RI ke 4 (empat) menggantikan Prof. Dr. Ir. BJ. Habibie. Selama memegang jabatan Presiden Gus Dur banyak melakukan Reshuffle kabinet, sehingga banyak menimbulkan perlawanan dari partai-partai asal menteri itu berada. Puncaknya, beliau diserang lewat cara impeachment oleh para anggota DPR. Dan akhirnya dijatuhkan lewat SI (sidang istimewa) MPR tahun 2000, ketika itu MPR dipimpin oleh Dr. M. Amin Rais (Muhamma-diyah).

Kyai Imampuro

My-Dock Sejarah Ponorogo - Semula Desa Sukosari banyak tempat un-tuk peribadatan orang-orang hindu buda pada ma sa kekuasaan kerajaan Wengker dibawah pengua sa Suryo Ngalam atau Ki Ageng Kutu, sebab disi ni banyak peninggalan arca-arca siwa yang diya-kini oleh orang hindu sebagai arca dewa sebagai sesembahannya. 

Pada saat jatuhnya Wengker ke tangan Ba-toro Katong pengembangan dakwah Islam mulai masuk ke daerah-daerah pedalaman seperti di wi layah hutan sukosari ini. Akan tetapi daerah ini mulai dimasuki agama Islam yang dibawa oleh seorang Ulama dari Demangan Siman yang ber-nama Imampuro. 

Imampuro adalah putra dari R. Jamkasari putra P. Abuyamin putra Raja Banten Jawa Barat, yang datang ke Ponorogo untuk misi dakwah Is-lam juga.

Di Ponorogo P. Abuyamin diambil menan-tu oleh K. Cholifah putra ke VI (lihat hal. 39) da ri K. Mohammad Besari Tegalsari, dengan demi kian berarti P. Abuyamin adalah cucu menantu dari K. Mohammad Besari Tegalsari, yang selan-jutnya menurun K. Imampuro sebagai buyut dari K. Mohammad Besari.

Untuk mengawali babad di Sukosari ini K. Imampuro mengambil tempat yang dekat dengan kali bengawan yang kebetulan di lingkungan ini banyak bekas tempat peribadatan orang hindu ka rena di tempat ini banyak arca-arca dewa siwa se bagai sesembahannya. Dan di tempat ini tampak angker dan wingit yang dipercayai sebagai da- nyangan tempatnya bangsa lelembut, jin, syetan dan genderuwo. 

Namun demikian, sekalipun tempat ini ter-kenal angker dan menakutkan, bagi K. Imampuro justru tidak dianggap gawat, malah disini didiri-kan bangunan Masjid sebagai tempat ibadah bagi umat Islam pengikut K. Imampuro.

Pejuangan dakwah K. Imampuro juga men dapatkan tantangan, diantaranya dari seorang gu-ru atau resi yang bernama Mbah Guno, seorang penganut ajaran peninggalan Ki Ageng Suryo Ngalam, yang beragama hindu atau kepercayaan kejawen. Mbah Guno adalah guru yang sangat sakti, murid-murid di perguruannya diajari ilmu-ilmu kanuragan, seperti tidak mempan di tusuk pi sau, atau dibacok, bisa menghilang dari panda-ngan mata, dan sebagainya.

Pada suatu hari, K. Imampuro hendak ber-silaturrahim ke Padepokan Mbah Guno yang letaknya tidak jauh dati tempatnya agak ke timur untuk diajak agar dapat menerima dakwahnya yaitu mau masuk Islam, tetapi rupanya niatan baik ini tidak mendapatkan sambutan sebagaima na yang diharapkan oleh K. Imampuro, justru murid-murid Mbah Guno menampakkan watak adigang adigungnya, sombong dan kasar pamer kesaktian. Di saat seperti ini K. Imampuro tidak gentar, beliau perintahkan santrinya untuk menca ri anak angon kambing (gembala) yang ada di sekitar Padepokan Mbah Guno, setelah di dapat kan anak angon itu oleh K. Imampuro disuruh mbacok tangan pimpinan murid dari Mbah Guno. Setelah tangannya berdarah karena bacokan arit nya anak angon tadi, K. Imampuro perintahkan lagi supaya anak itu membacok kaki pimpinan murid Mbah Guno, seketika pimpinan itu roboh, dan lalu minta maaf kepada K. Imampuro, kare na rasa belas kasihan, K. Imampuro memasukkan ibu jari tanganya ke mulut beliau, kemudian di keluarkan lagi dan ditempelkan ke kaki murid Mbah Guno yang luka itu, seketika itu juga luka nya sembut tidak berdarah lagi, dan saat itu pula Mbah Guno menghilang tidak diketahui kemana perginya. Karena gurunya sudah tidak dapat diketemukan, maka para murid Mbah Guno sama taubat dan masuk Islam.

Di Sukosari tempo dulu ada semacam der maga tempat singgahnya perahu-perahu yang me ngangkut barang-barang dari pedalaman menuju perkotaan hingga Surabaya. Dermaga itu berada di dukuh Tular sekarang, dan dahulu kala disini juga dibangun sebuah gudang penyimpanan ba-rang-barang yang akan diangkut ke Surabaya. Termasuk pula pengiriman kayu jati bantuan Bu-pati Polorejo untuk pembangunan masjid Taman Madiun, juga melalui perairan bengawan Tular ini.

Nama Tular diambil dari nama seorang pu tra Adipati Surodiningrat (Sedo Demung) bupati Ponorogo yang bernama Raden Tunglar yang ma sih seayah dengan R. Brotonegora bupati Polore-jo atau kabupaten kuto Lor. Dan tugas dari Raden Tunglar saat itu adalah sebagai penjaga gu dang tersebut, jika pembaca ingin melihat bekas gudang ini dapat datang ke Dukuh Tular Sukosa ri, namun disana tinggal tonggak-tonggak tiang pancang gudang saja, dan tidak berujud gudang.

Kyai Imam Musahaf

My-Dock Sejarah Ponorogo - Ada lagi putra K. Ageng Mirah yang ber tempat tinggal di kaki Gunung Gombak atau Gunung Larangan, kemudian pindah ke Dukuh Kepuh Gero Desa Gandu Kepuh Kecamatan Sukorejo. 

K. Ageng Mirah datang pertama kali di wilayah Wengker babad dan bertempat tinggal di Mirah dan mendirikan pondok di daerah ini. Anak beliau yang namanya sama dengan nama ayahnya yaitu K. Ageng Mirah II dan K. Ageng Mirah III babad dan bertempat tinggal di kaki Gunung Gombak, disini keduanya juga mengem bangkan dakwah Islam dengan mendirikan Pon dok dan Pesantren. Kemudian anak K. Ageng Mirah III yang bernama Imam Musahaf babad dan bertempat tinggal di Kepuh Gero yang letak nya tidak jauh dari Mirah tempat tinggal Kyai Ageng Mirah pertama alias Penasehat Betoro Katong Bupati Ponorogo pertama.

Asal Usul K. Imam Musahaf
1) Sayid Jumadil Kubra – Troloyo Mojokerto
2) Sayid Ibrahim Asmaraqandi – Tuban
3) Sayid Maulana Ishaq – Malaysia
4) Sayid ’Ainul Yaqin (Sunan Giri) Gresik
5) Sunan Giri Prapen – Gresik
6) K. Ageng Gribig – Malang 
7) K. Ageng Muslim  (Mirah I) – Mirah Nambang rejo berputra 
8) K. Ageng Mirah II – Nglarangan Kauman Sumo roto berputra
9) K. Ageng Mirah III – Nglarangan Kauman Sumo roto berputa
10) K. Imam Musahaf – Kepuh  Gero Sukorejo ber putra
11) K. Umar – Kepuh Gero Sukorejo berputra
12) K. Mohammad bin Umar – Banjarsari Sewulan Madiun

Sesudah K. Mohammad Besari Tegalsari mengangkat putra-putrinya ke jenjang rumah tangga, tinggal seorang putrinya yang ke 8 (de lapan) yang belum mendapat kan jodoh, sehing ga sangat memprihatinkan K. Mohammad Besari, beliau beristikharah minta kepada Alloh agar putrinya ini segera mendapatkan jodoh.

Tidak lama kemudian Alloh SWT menga bulkan do’a Kyai dimana disuatu hari datanglah Kyai Umar dari Puhgero kekediaman Kyai Besa ri di Tegalsari untuk melamarkan anak lelakinya yang bernama Mohammad bin Umar yang biasa disebut dalam buku babad dengan sebutan Bin Umar Puhgero untuk dijodohkan dengan putri Kyai Besari. Lamaran Kyai Umar Puhgero dite rima oleh Kyai Besari Tegalsari, kemudian ke dua anak Kyai ini di aqad nikahkan.

Sesudah tujuh hari pernikahan Bin Umar dengan putri Kyai Besari Tegalsari, di keraton Yogjakarta terjadi suatu peristiwa yang meng- gemparkan, yaitu hilangnya Pangeran Singosari pergi dari keraton Yogjakarta. Ternyata keper gian sang Pangeran ini membuka (babad) hutan di daerah Malang, di Desa Singosari mendirikan istana (keraton) sendiri. Sinuhun Yogja kebingu ngan dan cemas campur khawatir, jangan-jangan di lain waktu Pangeran Singosari memberontak Yogjakarta dan terjadi perang saudara yang tidak bisa dielakkan lagi.

Sinuhun Yogja kemudian mengajak Tumenggung untuk musyawarah, bagaimana cara nya agar Pangeran Si ngosari mau kembali ke Yogjakarta. Ki Tumenggung lalu menyarankan agar Sinuhun minta pertolongan Kyai Besari Tegalsari untuk dapat mengajak kembali pulang Pangeran Singosari ke Yogjakarta lagi. Pendapat Tumenggung ini di setujui, bahkan Tumenggung sendiri yang di utus oleh Sinuhun Yogja untuk datang ke Tegalsari, minta bantuan sang Kyai Tegalsari..

Sesampainya di Tegalsari, kedatangan Tumenggung di terima oleh Kyai Besari sendiri, lalu apa yang menjadi maksud kedatangannya se-mua di haturkan kepada Kyai Tegalsari. Inti dari semua pembicaraan adalah  ; Nanti apabila Kyai Mohammad Besari Tegalsari dapat membawa pulang Pangeran Singosari ke Yogjakarta, Kyai akan diberi anugerah berupa bumi perdikan yang tidak dikenakan pajak untuk selama-lama nya.

K. Mohammad Besari kemudian memang gil anak menantunya yang masih temanten baru yaitu Kyai Bin Umar Puhgero, dan di perintah agar bersama-sama Tumenggung Yogjakarta be rangkat ke Malang untuk mengajak pulang Pa ngeran Singosari ke Yogjakarta.

Setelah Kyai Bin Umar Puhgero bersama Tumenggung sampai di Malang, kemudian ia shalat di perbatasan hutan tanah yang di buka (babad) oleh Pangeran Singosari. Selanjutnya K. Bin Umar menghadap kepada Pangeran Singo sari. Setelah Pangeran Singosari mengetahui ada tamu ki Tumenggung dari Yogjakarta, Pangeran memerintahkan kepada Senopati untuk menang kap Tumenggung. Kyai Bin Umar lalu berkata kepada Senopati bahwa kedatangan Tumenggung Yogja ini bukanlah kemauannya sendiri, tetapi mengantarkan Kyai Bin Umar wakil dari Kyai Mohammad Besari Tegalsari.

Mendengar apa yang di katakan Kyai Bin Umar, Senopati lapor kepada Pangeran Singosari bahwa, sang Tumenggung hanyalah sebagai pe- ngikut Kyai Bin Umar sebagai wakil Kyai Besari Tegalsari. Kemudian Pangeran Singosari datang bertemu muka dengan Kyai Bin Umar dan ber- bincang-bincang sesaat, akhirnya Pangeran Si ngosari dapat memahami semua apa yang disam paikan oleh Kyai Bin Umar, lalu Pangeran mau kembali ke Yogjakarta jika Kyai Bin Umar siap mengantarkan sampai di keraton Yogjakarta. Di samping minta kesiapan Kyai Bin Umar, Pange ran juga minta keamanan pribadi Pangeran Singo sari selama di Yogjakarta menjadi tanggung ja wab K. Bin Umar. Kemudian Tumenggung di perintahkan oleh Pangeran Singosari agar berang kat lebih dahulu meninggalkan kota Malang me nuju Yogjakarta dan agar secepatnya memberi kan informasi kepada Sinuhun Yogja bahwa kedatangan Pangeran Singosari hendaknya dijem put para prajurit di luar batas kota Yogja. 

Karena gembiranya Sinuhun Yogja akan kepulangan Pangeran Singosari, beliau tidak me lupakan dengan janjinya, yaitu memberikan bumi tanah merdikan kepada Kyai. Akhirnya Kyai Bin Umar oleh Sinuhun Yogja di anugerahi bumi perdikan di Desa Banjarsari Sewulan Madiun, yang kemudian Kyai Bin Umar bersama istrinya hidup berumah tangga di bumi perdikan ini de ngan menyiarkan dakwah Islam mendirikan mas jid dan pesantren. Dalam berumah tangga Kyai Mohammad Bin Umar dikarunia 8 (delapan) putra-putri yaitu :
1) Nyai Mohammad
2) K. Ali Imron – Banjarsari Sewulan Madiun.
3) K. Bilawi – Giripurno Magetan
4) KH. Mohammad Besari – Banjarsari Madiun
5) K. Faqih – Plosorejo Kertosono
6) Nyai Nawawi – Tawangrejo Uteran
7) K. Belawi – Dondong Kebonsari
8) K. Maolani – Dondong Kebonsari.

Silsilah K. Anom Besari di Ponorogo
1. P. Brawijaya V Bhre Kertabumi Majapahit
2. R. Abdullah Fatah Sultan Demak
3. Sultan Trenggana Demak
4. Pnb. Prawata Demak
5. Pnb. Wirasmara Setono Gedong Kediri
6. P. Demang ( R. Jalu ) Adipati Kediri th. 1586
7. Ki. Demang Irawan Badal Ngadiluwih Kediri
8. Sayid ‘Abdul Mursyad Tukum Grogol Kediri
9. Kyai Anom Besari Kuncen Caruban Madiun berputra :
a. Kyai Khotib Anom Srigading Kalangbret Tulung Agung
b. Kyai Mohammad Besari – Tegalsari Jetis Ponorogo
c. Kyai Noer Sodiq – Tegalsari Jetis Pono rogo
A) Kyai Khotib Anom Kalangbret T.Agung ber putra :
K. Nawawi – Majasem Madusari Siman Po. ber putra :
K. Ghozali – Cokromenggalan Po. berputra 17 putra putri :
1) Ibrahim – Bedi Polorejo Babadan Po.
2) Zakariya – Sekaran Jajar Lembah Babadan Po.
3) Walijah – Juranggandul Kadipaten Babadan Po.
4) Karmiya – 
5) Mad Rais – Cokromenggalan Po.
6) Mariyam – Pintu Jenangan Po.
7) Ilyas – Parang Bonagung Magetan
8) Imam Faqih – Bayem Taman Bonagung Mgtn.
9) Warsinah – Cokromenggalan Po.
10) Warsiyah – Cokromenggalan Po.
11) Robi’ah – Kranggan 
12) Monah – Bedi Kidul Jetis Ponorogo
13) Idris – Cokromenggalan Po.
14) Isma’il / Shaleh – Cokromenggalan Po.
15) Asiyah – Mojoroto Sukorejo Ponorogo
16) Hayatun – Cokromenggalan Po.
17) Khozinah – Padas Bungkal Po.

1) K. Ibrahim – Bedi Polorejo Babadan Ponoro go berputra 6 :
a. ROISAH – Ngunut Babadan Po.
b. ZAINAB – Tamanan Polorejo Babadan Po.
c. MARJIYAH – Plosorejo Maduh Baron Ngjk.
d. RIDLWAN – Bakalan Polorejo Babadan Po.
e. SUDJINAH – Wonosari Tj.Anom Nganjuk
f. Syarifah Ny. Imam Rozi – Bedi Polorejo Babadan Po.
B) Kyai Mohammad Besari Tegalsari Jetis Pono-rogo berputra :
1) K. Ishak – Coper Mlarak Ponorogo
2) Ny. Abdurrahman
3) K. Ya’kub
4) K. Isma’il
5) K. Bukhari
6) K. Chalifah
7) K. Ilyas
8) Ny. Mohammad bin Umar – Banjarsari Madiun

B.7) K. Ilyas – Tegalsari berputra :
1. K. Kasan Yahya
2. Kanjeng Kyai Kasan Besari - Tegalsari
3. K. Suheb - Tegalsari 
4. Nyai Askiran - Malo 
5. Nyai Zainal ’Arif – Tegalsari

B.7.2) Kanjeng Kyai Kasan Besari – berputra :
Dari Istri ke I
a) Bagus Kasan Anom
b) K. Ilham – Setono
c) Nyai Reksoniti – Surakarta
Dari Istri ke II
a) Imam Besari – Tegalsari
b) Nada Besari – Tegalsari
Dari Istri ke III
Nyai Kasanpuro – Gontor Mlarak Ponorogo
Dari Istri ke IV
K. Tirta Besari – Ngrukem Mlarak Ponorogo
Dari Istri ke V (putri dari Keraton Solo)
a) RM. Martopuro – Wedono Maospati Magetan
b) RA. Kasan Rifa’i – Karanggebang Jetis Po.
c) RA. Martorejo – Coper Mlarak Po.
d) RM. Cokronegoro – Bupati Ponorogo (1854 – 1856)
e) RM. Bawadi – meninggal usia muda
f) RA. Andawiyah
Dari Istri ke VI
a) K. Kasan Cholifah – Tegalsari
b) K. Wongsodipuro – Singkil Balong
c) K. Martosari – Tegalsari
Dari Istri ke VII dari Yogjakarta tidak punya keturunan.

B.8) Ny. Mohammad bin Umar – Banjarsari berputa :
a) Nyai Mohammad
b) K. Ali Imron – Banjarsari Madiun
c) K. Bilawi – Giripurno Magetan
d) KH. Mohammad Besari
e) K. Faqih – Plosorejo Baron Nganjuk
f) Ny. Nawawi – Tawangrejo Uteran
g) K. Belawi – Dondong Kebonsari Madiun
h) K. Maolani – Dondong Kebonsari Madiun

B.8.b) K. Ali Imron – Banjarsari Madiun berputra :
Ny. Taftajani II – Kradinan Jetis Ponorogo berputra:
1) K. Asnawi – Kradinan Jetis Ponorogo
2) K. Moh. Sayid – Kradinan Jetis Ponorogo
3) Ny. Imam Ghozali – Kedungpanji Lembehan Magetan

B.8.b.2) K. Moh. Sayid – Kradinan Jetis berputra :
a) Ny. Mustaram – Kradinan Jetis Ponorogo
b) K. Hasan ’Ali – Kradinan Jetis Ponorogo
c) K. Isma’il – Kradinan Jetis Ponorogo
d) Ny. Maulani – Prayungan Paju Ponorogo
e) Ny. Musthofa – Kradinan Jetis Ponorogo
f) K. Nida Besari – Banjarsari Kediri
g) K. ’Ali Muttaqin – Coper Mlarak Ponorogo
h) K. Husnun – Kradinan Jetis Ponorogo
i) K. Imam Rozi – Bedi Polorejo Babadan Po.
j) Ny. Kulsum – Kedungpanji Lembehan Magetan
k) K. Imam Asy’ari – Ngapit Ngawi 

B.8.b.2.e) Ny. Musthofa – Kradinan berputra :
1) Ny. Marhamah
2) K. Abu Syukur
3) Ny. Markonah
4) K. Mas’ud
5) Ny. Taslimatun (Ny. K. Ridwan) Bakalan Plrjo.
6) Imam Munawir
7) Abdullah
8) Muslihah

B.8.b.2.e.2) K. Abu Syukur – Kradinan berputra :
a) KH. Abdul Ghoni - Geneng Ngawi
b) K. Abdul Ghofur - Kradinan Jetis
c) Ny. KH. Ridwan (Fathimah) - Pagerwaja Tulungagung
d) KH. Abdul Manan – Singosari Malang
e) Ny. KH. Abdul Mu’in (Andasah) - Munggu Bungkal
f) Ny. K. Rohmat (Juwariyah) - Maospati Magetan
g) KH. Imam Djurdjani - Tulungagung

B.8.b.2.e.5) Ny. Taslimatun (Ny. K. Ridwan bin KH. Ibrahim Bedi) Bakalan Polorejo berputra :
a) K. Mohammad Adnan - Bakalan Polorejo
b) KH. Asyhuri - Bakalan Polorejo

B.8.b.2.i) K. Imam Rozi (Ny. Syarifah binti KH. Ibra- him Bedi) Bedi Polorejo Babadan Ponorogo berputra :
1) Hj. Khodijah – Koripan Bungkal Ponorogo
2) Hj. ’Aisyah – Bangsongan Kediri
3) Hj. Sribanun – Bancer Paju Ponorogo
4) K. Agus Damanhuri – Bedi Polorejo
5) Hj. Siti Fathimah – Serag Pulung Ponorogo
6) Hj. Mardliyah – Klinter Kertososno Nganjuk
7) Hj. Musri’ah – Sedayu Purwoasri Kediri
8) Hj. Shofiatun – Pandanarum Kertosono
9) Hj. Siti Asiyah – Maduh Plosorejo Kertosono.

C) K. Noer Sodiq – Tegalsari Jetis Ponorogo berputra :
1) Ny. Ahmad
2) Ny. Zakariya
3) Ny. Suratman
4) K. Mukmin
5) K. Mubarak
6) K. Idris.

Kyai Mohammad Besari


My-Dock Sejarah Ponorogo - Pada Tahun 1700 M, K. Mohammad Besari mulai menginjakkan kakinya di bumi Ponorogo dengan disertai adik kandungnya yang bernama Noer Shodiq, untuk mondok di sebuah pesantren terkenal diwaktu itu di Desa Setono Kec. Jetis Kab. Ponorogo. Pondok pesantren ini di asuh oleh seorang Ulama’ yang sangat ’alim lagi berbudi luhur dan bijaksana, asih terhadap sesama, suka memberi pertolongan kepada siapa saja yang menderita dalam kesengsaraan. Beliau adalah K. Donopuro bin Pb. Ratmo jo bin P. Kabu bin P. Sumende bin Sunan Tembayat.

Pondok pesantren asuhan K. Donopuro ini sangat banyak santri-santrinya, ketika Mohammad Besari mondok di pesantren ini sudah tampak kelebihan-kelebihan yang dimiliki, baik penguasaan kitab maupun ilmu-ilmu lainnya. Ketika kurang lebih selama 3 atau 4 tahun lamanya menjadi santri Setono, Mohammad Besari bersama adiknya Noer Sodiq berjalan-jalan menjelajah kota Ponorogo, sesampainya di Desa Mantub keduanya merasa kehausan. Karena hausnya itu lah keduanya minta degan (kambil muda) untuk diambil airnya untuk diminum kepada pemilik pohon kelapa itu, kebetulan pemilik pohon kelapa itu adalah juga seorang Kyai yang bernama Noer Salim yang kebetulan beliau ini adik ipar dari K. Donopuro pengasuh pesantren Setono dimana Mohammad Besari bersama adiknya nyantri.

Kyai Noer Salim, memperkenankan Mohammad Besari untuk mengambil dan memetik sendiri buah kelapa muda yang dimaksud, ketika ada perkenan dari pemiiknya Mohammad Besari hanya melambaikan tangannya kearah buah kelapa yang ada dipuncak pohonnya itu dan jatuh sendirilah satu janjang buah kelapa muda.

Mengetahui kejadian yang demikian ini Kyai Nor Salim kemudian mengingatkan kepada Mohammad Besari, dan memberikan contoh bagaimana cara memetik buah kelapa yang baik, agar tidak semua buah yang tidak diinginkan ikut jatuh. Kyai Noer Salim mendekati pohon kelapa lalu pohon itu di lengkungkan sampai melengkung ke tanah puncaknya, kemudian Mohammad Besari dipersilahkan mengambil yang mana yang ia sukai.

Tidak lama kemudian K. Noer Salim, menanyakan tentang jati diri Mohammad Besari, dari mana asalnya dan untuk apa menjelajahi Ponorogo. Setelah semuanya dijelaskan oleh Mohammad Besari, hati K. Noer Salim tertarik untuk mengambilnya menjadi menantu. Hal ini ke mudian dibicarakan seperlunya dan Mohammad Besari juga tidak keberatan dan sudah menyetujui apa yang menjadi keinginan K. Noer Salim, maka terjadilah pernikahan antara Mohammad Besari dengan putri sulung K. Noer Salim yang kemudian diboyong ke Setono.

Kurang lebih satu tahun lamanya Moham mad Besari bersama istri suwita di tempat K. Donopuro, keduanya lalu di persilahkan untuk membuka tanah Tegal milik K. Donopuro di sebelah timur Pesantren Setono di seberang sungai, yang kemudian hari tanah Tegal yang di buka dan dijadikan tempat tinggal Mohammad Besari bersama istri ini oleh K. Donopuro diberi nama Tegalsari.

Di kemudian hari, Tegalsari tidak hanya menjadi tempat tinggal Mohammad Besari bersama istri namun lama kelamaan K. Donopuro juga mempersilahkan untuk membuka ngaji dan menerima santri. Bertambah hari santri  Mohammad Besari bertambah banyak akhirnya Tegalsari menjadi pesantren yang besar. Setelah K. Donopura wafat kejayaan pesantren Setono berpindah ke pesantren Tegalsari yang di asuh oleh K. Mohammad Besari, kejayaannya sampai zaman sekarang ini, hampir-hampir pondok-pondok pesantren dan masjid-masjid tua yang ada di Ponorogo ini yang cikal bakal dan yang mendirikan kebanyakan masih ada keturunan dari Tegalsari atau Setono Jetis. 

Asal Usul K. Mohammad Besari
a. Prabu Brawijaya V berputra
b. R. Fatah – Demak berputra
c. R. Trenggono – Demak berputra
d. Prabu Prawoto – Demak berputra
e. Prabu Wirasmoro – Setono Gedong Kediri ber- putra
f. P. Demang ( R. Jalu ) – Kediri berputra
g. R. Demang Irawan – Badal Ngadiluwih Kediri berputra
h. K. Abdul Mursad – Grogol Tukum Kediri ber- putra
i. K. Anom Besari – Kuncen Caruban Madiun berputra :
1. K. Chatib Anom – Srigading Klambret Tulungagung
2. K. Mohammad Besari – Tegalsari Jetis Ponorogo
3. K. Noer Sodiq – Tegalsari Jetis Ponorogo

K. Mohammad Besari berputra 9 berputra ;
1) K. Ishak – Coper Mlarak Ponorogo
2) Ny. Abdurrahman
3) K. Ya’kub
4) K. Isma’il
5) K. Bukhari
6) K. Chalifah
7) K. Ilyas
8) Ny. Mohammad bin Umar – Banjarsari Madiun
9) K. Zainal Abidin – Raja Selangor Malaysia

K. Mohammad Besari Meninggal dunia tahun 1747 M di makamkan di belakang Masjid Tegalsari.